Terdakwa Divonis 10 Bulan, Keluarga Eks Taruna PIP Korban Penyiksaan Kecewa

Semarang JavaMedia,Id – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (14/10/2024) menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada enam terdakwa taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang pelaku tindak kekerasan terhadap MG.
Ketua Majelis Hakim PN Semarang, Kukuh Kalinggo Yuwono menyatakan keenam terdakwa taruna PIP Semarang terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan sebagaimana dalam dakwaan jaksa pentuntut umum Pasal 351 Ayat (1) jo 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Para terdakwa masing-masing Dahfa, Zidan, Ifan, Putra Dian, Raka, dan Dimas telah melakukan pemukulan masing-masing sebanyak lima kali kepada korban taruna yunior PIP tahun 2022, MG.
MG dipukuli di bagian ulu hati dan bagian perut di ruang fitness Gedung Pusat Pembinaan Mental kampus PIP Semarang pada 2 November 2022.
“Menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara kepada keenam terdakwa, dikurangi masa tahanan serta memerintahkan tetap dalam tahanan,” katanya saat membacakan amar putusan dalam sidang di PN Semarang.
Dalam pertimbangan hukum, Majelis Hakim menyebutkan yang memberatkan perbuatan para terdakwa dapat merugikan nama institusi PIP Semarang.
Sedangkan yang meringankan antara lain para terdakwa masih muda, belum pernah dihukum, mengakuai perbuatannya. “Serta telah meminta maaf kepada keluarga korban dan keluarga di Jakarta,” papar Kukuh.
Persidangan dengan agenda pembacaan putusan itu tidak dihadiri langsung enam terdakwa. Para terdakwa ikut sidang melalui layar televisi.
Vonis hakim ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penutut Umum (JPU) yang dalam persidngan sebelumnya menuntut enam terdaka dengan hukuman satu tahun penjara.
Menanggapi vonis majelis hakim, penasihat hukum enam terdakwa menyatakan piker-pikir. Demikian pula dengan JPU.
Sementara orang tua korban MG, Yokavien yang hadir dalam persidangan menyatakan sangat kecewa dengan putusan hakim yang menjatuhkan vonis ringan 10 bulan kepada para terdakwa taruna PIP Semarang.
“Ini menunjukkan negara tidak hadir untuk memberantas premanisme, penganiayaan, yang menyebabkan luka dan kematian, dalam pendidikan kedinasan yang sudah lama berlangsung,” katanya didampingi suami kepada wartawan seusai mengadiri sidang di PN Semarang.
Lebih lanjut, perempuan yang datang dari Jakarta ini menyatakan, negara tidak pernah membongkar akarnya, yaitu normalisasi praktik kekerasan baik secara sembunyi-sembunyi berkedok tradisi, maupun terang-terangan.
Kalau lapor akan lebih parah akibatnya, sebab setelah kekerasan yang menimpa anaknya MG, masih terjadi kejadian kematian taruna, di Poltekpel Surabaya bulan Februari tahun 2023 dan di STIP Jakarta Mei tahun 2024.
“Putusan ringan kepada para terdakwa sama saja menormalkan kekerasan di dunia pendidikan kedinasan yang sudah terjadi bertahun-tahun,” tandasnya.
Menurut Yoka, ringannya vonis yang dijatuhkan majelis hakim PN Semarang tidak terlepas dari perubahan pasal yang digunakan JPU, yang awalnya menggunakan Pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun, menjadi Pasal 351 ayat 1 jo Pasal 55 KUHP, dengan ancaman hukuman dua tahun.
JPU yang menuntut satu tahun tidak mempertimbangkan kerugian yang dialami korban MG yang mengalami luka dalam, trauma psikologis, putus sekolah, dan hilangnya peluang menjadi CPNS karena jalur yang telah diraihnya adalah kedinasan, yaitu pola pembibitan Kementerian Perhubungan.
“Kami kecewa sekali. Setelah dikecewakan JPU yang hanya menuntut satu tahun penjara pada pelaku, kembali dikecewakan majelis hakim yang sama sekali tidak berpihak pada anak kami yang menjadi korban,” ujarnya yang akan mempertimbangkan upaya hukum lain.
Sedangkan Nico W dari LBH Semarang putusan 10 bulan majelis hakim membenarkan adanya tindak kekerasan yang dilakukan enam terdakwa.
“Negara harus berbenah dengan menghentikan tindak kekerasan di lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan kedinasan.” tandasnya.
Amar Ismail SH MH Pengamat Kriminalitas Dalam Pendidikan menanggapi sudah seharusnya adanya pembinaan melalui tradisi pendidikan di Perguruan Tinggi Kedinasan diawasi oleh Institusi terkait.
“Ini harus dilakukan karena tren kekerasan dalam tradisi pendidilan terus meningkat, terutama dalam pendidikan kedinasan non kemiliteran dan kepolisian. Lembaga Pendidikan harus mampu mengontrol para taruna senior agar tidak bertindak di luar batas terhadaap yunior. Saya yakin ini terjadi bukan karena standar yang diterapkan Lembaga, melainkan tindakan yang diluar batas dan tak terukur dari orang per orang. Namun kalau sudah terjadi korban akan menyeret Lembaga sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab. Apapun ini akan berpengaruh pada citra lembaga pendidikan kedinasan,” ujar Amar melalui saluran seluler.
Amar enggan mengomentari putusan hakim, namun lebih penting mencegah agar kasus ini tidak terjadi berulang-ulang. “Jadi bukan pada masalah harapan putusan atau vonis tinggi akan menjamin menghilangkan tindak kekerasan, akan tetapi harus ada pola yang dirubah dan pengawasan ketat supaya tak ada kekerasan selama Pendidikan,” tegasnya. (Arjun)