Mainan Warak Ngendog Lenyap, Dugder Jadi Korea Style

Semarang JavaMedia.Id – Megengan adalah istilah orang menyebut Pasar Malem yang digelar memeriahkan tradisi Dugderan sebagai tanda pembuka bulan Ramadan. Pasar malam ini merupakan bentuk kemeriahan suasana yang selalu digelar dua pekan menjelang tibanya bulan Ramadhan. Kali ini mulai digelar dari tanggal 17 hingga 28 Februari 2025.

Acara pasar malam
ini sudah ada lebih dari seabad lalu di tempat yang sama yaitu Alun-alun Semarang yang masuk dalam komplek Masjid Agung Semarang (MAS) dan berdekatan dengan Pasar Johar.

Sayang, seperti yang dirasakan masyarakat, pasar Dugderan tidak lagi greget seperti dulu. “Lihat saja mainan anak-anak Semarang yang jadi legenda seperti Warak Ngendok sudah jarang ditemui. Dulu setiap sudut pasti ada pedagang maskot Dugderan tersebut, ” ujar Chandra AN, salah seorang fotografer di Kota Semarang yang konsen pada obyek budaya tradisi Semarang dan sedang hunting foto di areal Dugderan.

Warak adalah replika dari figur profil pembauran binatang terbuat dari kayu berlapis rumbai kertas warna- warni. Replika tersebut perwujudan binatang berkepala mirip naga namun juga mirip kambing dengan badan mirip jerapah. Bentuknya bahkan ada yang bilang memgadopsi Buroq.

Meski begitu mainan yang mewarnai dalam tradisi Megengan atau Dugder ada yang masih bertahan, seperti replika mainan kapal-kapalan yang digerakkan dengan komponen yang sibakar dengn minyak klentik dan dimainkan di baskom berisi air. Atau mainan anak dari gerabah yang masih banyak dijumpai dan dijual.

0b66990c 4456 47ed Be43 11ca7e80ae30Selain Warak nyaris menghilang, beberapa makanan khas Semarang juga nyaris tak tampak. Malah sekarang pedagang makanan didominasi aneka kuliner bakar-bakaran seperti Cumi Bakar, Kepiting Bakar dan Dimsum.

Kuliner Semarang seperti Putu Bumbung, Kue Coro, Petis Bumbon bahkan Glewo dan Sate Jagung, nyaris hilang.

“Dulu sewaktu saya kecil pasti menjumpai banyak makanan seperti ganjel rel, sate jagung (bakwan jagung), lalu putu bumbung, putu mayang, kereng, jongkon dan gobet banyak dijual. Tapi mungkin karena generasi sekarang suka makanan ala-ala Korea, akhirnya makanan tradisional jadi hilang dari Dugderan.

Selebih kini adalah kuliner kekinian jenus lauk gorengan crispy, bahkan kuliner impor dari Jepang dan Korea yang mendominasi dagangan .

A34dfc0a F6f2 446d A536 588a60c29d8fMbak Deni (42) satu-satunya penjual makanan tempo doeloe berujar, “Hampir tiap tahun saya jual masakan khas Dugder. Karena ini usaha dari kekuarga leluhur,” kata dia.

Menurut Chandra AN yang lahir dan tumbuh di Semarang, kondisi tradisi Dugderan ini tergantung oleh pemerintah. “Kalau melihat Dugder sekarang ini, jelas Pemkot kurang serius memikirkan acara tradisi. Yang dikejar hanya rutinitas tanpa memikirkan apa-apa konten yang harus dilestarikan, ” ungkap Chandra AN.

Pandangan kritisnya juga menyasar para pelaku dalam Pasar Malem Dugderan, justru mayoritas adalah bukan orang Semarang.

“Saya melihat banyak orang berjualan makanan yang ‘senada’ atau sama. Misalnya ya tadi, aneka bakaran. Kalau saya cermati mereka adalah pelaku usaha kuliner dengan modal besar yang datang dari luar kota dan lebih dari lima orang. Banyak lapak dikuasai karena mereka mampu menyewanya dengan harga lumayan. Juga untuk aneka hiburan seperti Tong Setan dan Drum Molen, juga bukan orang Semarang. Maka boleh saya katakan, Dugderan ini bukan milik Warga Semarang, padahal secara ekonomi mestinya harus memberi banyak manfaat bagi warganya,” sambungnya.

Chandra mengakui, dulu bila ada Pasar Malem Dugderan, banyak warga sekitar yang memanfaatkan untuk berdagang. Warga Kampung Tirman bangak yang jual Warak hasil bikinan sendiri. Lalu warga Kauman juga banyak yang berdagang makanan. “Kakek saya dulu warga Petolongan juga sama. Ambil bagian berdagang minyak wangi. Sementara ada juga budhe jualan perkedel jagung. Jadi pelaku ekonominya kebanyakan warga Semarang,” ungkap Chandra AN.

83bf61f2 5377 476b 869a 7b15ada02d76Sementara Tokoh Masyarakat Budaya Semarang, Hari Bustaman melihat Dugder dengan skeptis. “Lihat saja, dari tahun ke tahun arena pasar ini semakin sempit dan tidak ada lagi tontonan
khas Semarang seperi Gambang Semarang dan lainnya,” ujar Hari Bustaman menyesalkan.

Apakah ini semua imbas dari efisiensi anggaran yang mengharuskan pemerintah memangkas anggaran di semua sektor?. Sehingga Pasar Dugder berlangsung sekadar ada.

Hari Bustaman berharap Pemerintah Kota Semarang memiliki kepekaan terhadap seni, budaya dan tradisi yang terus bergeser.

“Mestinya masyarakat, khususnya para tokoh masyarakat yang asli, paham dan konsen terhadap persoalan budaya kotanya ini dirangkul dan diajak ngomong serta rembugan. Jangan mendengarkan suara-suara dari luar yang justru akan mendegradasi budaya kita. Contoh saja, figur Warak yang sekarang ini justru semakin kabur. Semua orang bisa membuat versi maaing-masing, dan kita tak punya mana yang menjadi rujukan. Tugu Warak yang ada di Tlogobayem beda rupanya dengan Warak yang kita kenal dulu. Sebelum terlambat, maka ini harus jadi perhatian,” tegas Hari.

Pada momentum Pelantikan Walikota Semarang yang baru, yakni Agustina Wilujeng, justru Hari Bustaman optimis geliat budaya akan besa dari sebelumnya.

” Semoga saja, karena saya dengar Walikota Semarang yang baru ini sangat paham seni dan sejarah. Maka saya yakin mereka yang paham ini lah yang mestinya bisa membawa perubahan untuk kelestarian budaya dan tradisi Kota Semarang,” harap buyut dari Syarif Bustaman yang masih satu leluarga dengan maestro pelukis Raden Saleh ini. (Iss)

Mari berbagi:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *