Produk Alat Keroncong KPKS Tembus Malaysia
Semarang JavaMedia.Id – Komunitas Pelaku Keroncong Semarang (KPKS) terus melakukan terobosan untuk gerakan pelestarian keroncong. Setelah bekerjasama dengan BPJS dalam rangka memberikan jaminan layanan kesehatan dan jaminan hari tua, melalui unit usaha produksi alat musik keroncong kini mampu mensuplai kebutuhan alat musik ke seluruh Indonesia, bahkan tempus ke Malaysia.
Bambang Wisnu, Penanggungjawab Usaha Produksi Alat Musik Keroncong KPKS, Kamis (3/8/2023) membenarkan bahwa produk alat musik keroncong KPKS sudah tembus ke pasar Malaysia. “Kami kini sedang menyelesaikan pesanan alat musik keroncong untuk pegiat keroncong di Malaysia. Ini juga berkat Mas Kempling dan kawan dosen musik Unnes yang selalu mensupport kami dan mempromosikan ke mana-mana. Jumlah pesanan lumayan, tapi tetap kami utamakan pesanan yang dari dalam negeri terlebih dahulu. Ada pesanan dari Sumatera, Kalimantan hingga Indonesia Timur. paling banyak pesanan Ukulele, Cak dan Cello. Adapula biola elektrik yang sekarang sedang naik daun terbuat dari akrilik,” ujar Bambang Wisnu di rumag produksinya, Jl Sanggung Raya Jatingaleh Semarang.
Tingginya pesanan ini menurut Bambang Wisnu juga menjadi ukuran bahwa seni musik Keroncong tengah berkembang, meski tidak melulu pada Keroncong Klasik saja. Oleh karena itu adanya produsen alat musik keroncong akan sangat mempengaruhi perkembangannya.
“KPKS yang awalnya hanya komunitas pelaku, terdiri dari pemusik dan penyanyi keroncong akhirnya harus ikut berpikir tentang pelestarian. Problem pelestarian ini terletak pada bagaimana menumbuhkan minat dan menyediakan sarananya. Minat ada tapi kalau tidak didukung pengadaan peralatan maka akan sia-sia. Masak Keroncong dimainkan dengan Solo Organ, tentu tidak afdol karena Keroncong itu lazimnya diiringi dalam bentuk orkes. Kalau kita membiarkan ini maka kita akan meniadakan 7 pemusik dalam formasi orkes, yaitu pemain biola, flute, gitar, cello, cuk, cak dan bass,” kata Bambang Wisnu.
Usaha produksi alat keroncong KPKS ini menurut Bambang Wisnu ditopang oleh para anggota, selain modal terbesar juga dari kocek pribadi Bambang Wisnu yang lebih dikenal sebagai pemain Biola dan Cello dalam KPKS.
“Kami tumbuh berkembang bersama, awalnya dari anggota untuk anggota. Tapi kini sudah harus memikirkan komunitas lain dalam memenuhi peralatan keroncong yang berkualitas. Oleh karena itu harga-harga peralatan keroncong di kami dijual dengan harga terjangkau. Untuk Cuk dan Cak rata-rata Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu bergantung kualitas kayu dan spoel elektriknya. Cello dari Rp 3 juta hingga Rp 4 juta dan Bass Rp 4 juta hingga Rp 6 juta. Produk kami umumnya sudah lolos kurasi standart musik yang dilakukan oleh dua praktisi dan akademisi musik dari Universitas Negeri Semarang Mas Ibnu Amar dan Mas Keplinx. Keduanya ini juga merupakan pembina KPKS,” tambah Bambang Wisnu.
Pengamat Keroncong Surakarta, Wartono sangat mengapresiasi geliat Keroncong di Kota Semarang yang dipelopori Komunitas Pelaku Keroncong Semarang (KPKS). Mantan Ketua HAMKRI Surakarta ini menilai sudah banyak terobosan yang dilakukan KPKS untuk anggotanya dan masyarakat Keroncong.
“Pertama adanya jaminan kesehatan terhadap seniman keroncong yang dikerjasamakan dengan BPJS. Ini luar biasa karena selama ini belum ada seniman yang terakomodir jaminan kesehatan dari BPJS, karena umumnya seniman bukan penerima upah kerja. Bayangkan ada pengamen sakit dicover BPJS ini luar biasa. Bahkan kematian pun keluarganya mendapat santunan puluhan juta rupiah dari BPJS. Saya kira semua organisasi kesenian perlu belajar dari teman-teman KPKS di Semarang. Lalu kedua, KPKS mampu mencukupi kebutuhan seniman keroncong dengan penyediaan alat musik produksi sendiri. Ini juga luar biasa karena alat musik keroncong umumnya tidak diproduksi pabrik dan bermerek. Sebagaimana di Baki Solo, alat musik keroncong produksi pengrajin. Kalau di Semarang ada rumah produksi KPKS ini sangat luar biasa, karena selama ini paling banyak di Solo yang memproduksi alat musiknya,” ungkap Wartono.
Dari sini lah menurut Wartono sudah bisa dinilai bahwa musik keroncong masih eksis, meski mengalami fenomena pengembangan yang ekstrem.
Chandra AN, wartawan yang sekaligus pengamat musik keroncong di Kota Semarang setuju dengan apa yang diungkapkan Wartono. Bahwa tak perlu pesimis akan eksistensi seni budaya keroncong. Namun juga tak perlu skeptis dalam menyikapi perkembangannya. “Pengembangan ekstrem terhadap keroncong ini sebagai pertanda bahwa keroncong diterima oleh segala lapisan. Adapun bila mengalami bentuk atau komposisi peralatan dan ritme itu merupakan selera yang dibuat untuk capaian eksistensi grup atau suatu kelompok yang memainkan. Meski susunannya beda dengan klasik, mereka toh butuk cuk, cak, cello dan lainnya sebagai identitas ‘warna’ keroncong. Yang begitu-begitu itu ruang apresiasinya jelas beda dengan yang klasik, jangan dibenturkan-benturkan sebab ruang pelestarian dan inovasi sangat berbeda. Namun tetap perlu memberikan wawasan akan pakem keroncong klasik yang ada sebelumnya sebagai bisa jadi referensi,” tandas Chandra AN.
Chandra AN yang juga sebagai penyanyi keroncong ini juga mengajak seluruh seniman keroncong belajar dan memahami sejarah dan ilmu keroncong, jadi jangan hanya hanyut dalam sisi permainan musik dan menyanyi. Sehingga akan lahir kecerdasan yang bisa diwariskan pada generasi mendatang. Contohnya bisa membedakan lagu keroncong, langgam dan stambul. Paham pakem dan pola permainan keroncong, menguasai pola dan teknik menyanyi sehingga tidak lantas menganggap nyanyi keroncong itu sulit.
“memang banyak yang mengatakan keroncong itu sulit dipelajari, terutama cara atau teknik menyanyinya. Makanya orang sering memilih menyanyi lagu pop diiringi musik keroncong daripada membawakan lagu keroncong asli. Kenapa sulit ? umumnya karena tidak banyak yang bisa melatih atau mengajarinya secara praktis, baik dan benar,” ujarnya. (Haidar AF)