Kisah Perjuangan Sanjoto, Polisi Militer Pertama yang Sederhana
Javamedia.id – SOSOK Sanjoto (93) di setiap ada peringatan HUT Kemerdekaan, Hari Pahlawan, HUT TNI hingga HUT Polisi Militer selalu tak pernah absen menghadiri undangan. Ini karena beliau merupakan pelaku dan saksi hidup keterlibatannya sebagai prajurit pejuang.
Ditemui di rumahnya, jalan Belimbing Raya Peterongan Semarang, Sanjoto mengaku tak pernah mimpi jadi tentara, meski ayahnya juga seorang pejuang dan tentara. Dia menceritakan awal dirinya bergabung menjadi tentara kala masih pelajar dan berhasil mengusir serta menduduki markas Kempetai atau Polisi Militer Jepang di Kota Surakarta tahun 1945. Saat itu dirinya juga berhasil merampas senjata Jepang.
Keberhasilan ini membuat para pelajar yang kala itu menduduki markas dinobatkan sebagai Polisi Tentara dan bermarkas di di tempat tersebut. Namun kondisi ini tak berlangsung lama setelah Belanda kembali menduduki Surakarta. Semua pelajar pejuang kala itu langsung keluar Kota Surakarta untuk membangun pos-pos perlawanan melalui jalan gerilya.
Sanjoto kala itu bermarkas di Jumapala dan pimpinan tertinggi dibawah komando Kolonel Gatot Soebroto yang bermarkas di pegunungan wilayah Wonogiri. Saat itu Sanjoto mengaku berpangkat Letnan Muda. Dia sendiri mengaku tak pernah mengikuti pendidikan khusus sebelumnya.
“Karena saya berhasil menguasai markas Kempetai, maka saat itu juga kami bersama teman-teman dinobatkan jadi Polisi Tentara. Kempetai ini adalah Polisi Militernya Jepang,” tutur Sanjoto.
Selama perjuangan gerilya, Sanjoto mendapat tugas sebagai pasukan yang mencari dan mengamankan rute gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman ketika gerilya sampai wilayah Wonogiri hingga perbatasan Jawa Timur. Bahkan kenangan saat itu, Sanjoto berhasil mengamankan perjalanan pulang Jenderal Soedirman dari Wonogiri menuju Yogyakarta memenuhi panggilan Presiden Soekarno. Tentunya perjalanan menempuh waktu berhari-hari dengan tandu.
Selain pengamanan dan pengawalan, Sanjoto juga sering terlibat kontak senjata dan melakukan operasi penghancuran rombongan konvoi tentara Belanda. Desa Mento adalah saksi dimana Sanjoto pernah memasang ranjau dan meledakkan truk yang membawa pasukan Belanda yang ternyata Gurkha.
Dalam misi peledakan tersebut Sanjoto mendapatkan banyak senjata, diantaranya ‘Jungle Rifle’ yang akhirnya menjadi bekalnya untuk berjuangan ditambaha 1 pistol FN 45 atau M1911 berpeluru kaliber 45.
Perjalanan karier Sanjoto terbilang unik. Pada saat retrukturisasi organisasi TNI paska perjuangan revolusi, dia pun diturunkan pangkatnya menjadi Kopral. Dia pun protes menghadap ke Komandan Denpom Surakarta saat itu. Dia memilih akan kembali ke masyarakat bila harus menerima pangkat Kopral. Alasannya karena perjuangannya selama ini telah berhasil memimpin pasukan.
Karena pertimbangan lain, Sanjoto pun menerima pangkat baru ‘Sersan’. Dengan pangkat sersan ini dia jalani dengan sepenuh hati, sampai dia pernah menjadi penguji SIM Kolonel Achmad Yani dan jadi sopir Presiden RI Soekarno saat inspeksi ke Bulakamba menyaksikan keberhasilan pasukan Banteng Raiders menghancurkan gerombolan DI TII.
Saat bertugas di Kalimantan, secara tak sengaja Sanjoto bertemu Jenderal Achmad Yani. Jenderal yang akhirnya gugur sebagai pahlawan revolusi ini memanggilnya dan menanyai.
“Saya ditanya, kamu sudah berapa lama tugas di sini. Tampaknya beliau masih ingat bahwa saya yang pernah menguji SIM beliau saat masih bertugas di Tegal. Akhirnya saya mendapatkan surat pindah tugas kembali ke Jawa dan diberi kenaikan pangkat dari Sersan Kepala menjadi Sersan Mayor. Beliau hapal saya karena saya satu-satunya prajurit yang berkacamata tebal atau istilah beliau belor,” kisah Sanjoto.
Dalam bertugas dan mengabdi, Sanjoto yang pensiun terakhir berpangkat Kapten CPM memang tak pernah macam-macam. Saat bertugas di medan gerilya, Sanjoto pun pernah mendapat hadiah dari Jenderal Gatot Soebroto berupa jam arloji. “Hei monyet…iki dinggo…ben gagah..,” kenang Sanjoto.
Gatot Soebroto menurut Sanjoto memang sering memanggil anak buahnya dengan sebutan ‘monyet’. Ini bukan penghinaan, akan tetapi bentuk keakraban.
Bukti kesederhanaannya, hingga kini Kapten Purnawirawan Sanjoto belum memiliki rumah tinggal. Rumah yang ditinggali di Jalan Belimbing Raya merupakan rumah yang berdiri di tanah aset Pemkot Semarang.
“Dulu rumah ini di tahun 1965 jadi tempat persinggahan DN Aidit saat hendak melarikan diri ke Solo. Saya saat itu diperintah Kapomdam VII Diponegoro untuk mencari dan menangkap Aidit yang kabarnya singgah di rumah ini. Namun ketika sampai di rumah ini, DN Aidit sudah kabur ke Solo beberapa jam sebelumnya. Rumah ini akhirnya disegel sebagai barang bukti. Hingga tahun 1970an rumah ini tak ada yang berani mengaku kepemilikannya, hingga lama kosong dan rusak. Karena para perwira saat itu (Sanjoto berpangkat Letnan Dua) banyak yang tidak memiliki tempat tinggal layak, maka turun perintah agar saya menempati dengan konsekuensi memperbaiki.
“Ketika saya sudah purna dan usia 90 tahun, rumah ini makin rusak dan datang Pak Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng bersama Dandenpom Semarang Letkol CPM Okto Femula membantu memperbaiki rumah ini. Bahkan Walikota Semarang saat itu Pak Hendrar Prihadi berjanji akan menghibahkan, meski sampai sekarang belum terealisasi,” ungkap Sanjoto.
Menurutnya perhatian terhadap para veteran pejuang saat ini sudah sangat baik, baik dari Pemerintah maupun Swasta. Belum lama ini Keluarga Bung Karno juga memberi perhatian berupa tali asih kepada Sanjoto karena pernah melayani dengan menjadi sopir saat Bung Karno kunjungan ke Bulakamba, Slawi dan Tegal.
Semasa Dandenpom Semarang dijabat Letkol CPM Okto Femula, dirinya paling sering diundang acara-acara penting dan mendapat perhatian. Baginya, generasi muda Polisi Militer harus bisa menjaga silaturahmi dengan para sesepuh. Sehingga pengalaman-pengalaman masa lalu bisa menjadi pegangan dan bekal menjalankan tugas ke depan. (SWW)